Oleh : IARC
Yang pasti bhw sesuai dgn UU no 1/2009 ttg Penerbangan, apa yg dilakukan oleh penumpang tersebut : SALAH !!! dan tdk perlu diperdebatkan lagi. Kejadian tsb bukan yg pertama kali dan bisa terjadi lagi .
Menyosong kebangkitan aviasi Indonesia pd 2034 sebagai "the world's 5th largest passenger(aviation) markets [sesuai estimasi IATA ] serta sebagai bangsa yang bermartabat dan yg dipersepsikan sebagai bangsa yang santun, kejadian seperti ini harus dihindari.
Oleh krn itu perlu dicari "root causes" dari kejadian tsb dan mengambil pelajaran utk suatu perbaikan.
Pelaku (penumpang) adlh orang2 yg melek hukum dan yg pasti mereka tdk dgn sengaja mau melanggar aturan. Dipihak lain, Petugas Security (AvSec) tahu bhw dia adlh pelayan dan yg pasti tdk bermaksud bertindak kasar terhadap penumpang, siapapun dia.
Kalau begitu kenapa hal ini terjadi?. Dimana letak masalahnya? Apa yg hrs dilakukan utk perbaikan?
Kejadian ini perlu dilihat dari 3 perspectives:
#1. Petugas avsec, sesuai tupoksinya, berkonsentrasi pd pengamanan di SCP (Security Check Points). Sesuai namanya, pengamanan dilakukan, terutama ,dgn cara MEMERIKSA penumpang sesuai dgn aturan dan prosedur yg berlaku sama untuk SEMUA penumpang. Kenapa penumpang harus diperiksa, sederhana, karena setiap penumpang dan barang yg dibawanya berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan. Oleh karena itu perlu dicurigai (suspected).
Lokasi kerjanya ibarat "panggung terbuka" yg disaksikan s.d. jutaan orang setiap bulan/tahun. Suasana kerja pada peak hours dan menghadapi penumpang yg "moving &time-sensitive" berpotensi menimbulkan stress.
#2. Penumpang : Memasuki area bandara, secara umum, penumpang dihinggapi rasa kuatir (Air Travel Anxiety) akan banyak hal: Ketinggalan pswt,kelebihan bagasi,bagasi rusak/tdk diterima,flt delays/mis-connections/cancellations,tdk diijinkan masuk ke neg tujuan,kondisi cuaca, dll.,sampai kepada keselamatan penerbangannya. Atau ada juga yg memang karena " Fears of flying".
Rasa kuatir ini kemudian menimbulkan stress ( Air Travel Stress=ATS) dan " stress reaction".
ATS dimulai sejak kendaraan penumpang mencari tempat berhenti di "drop-off zone" sampai dgn penumpang tsb boarding sesuai jadwal penerbangan.
ATS lebih tinggi dari stress yg ditimbulkan oleh moda angkutan lain. Hal ini disebabkan olh tingkat " unpredictibility" di udara yg lebih tinggi dan dgn "check points" yg jauh lebih banyak dibanding pada moda lain.
Lingkungan yg stressful seperti itu kemudian, dgn sedikit saja "unexpected irregularity" dapat memicu kemarahan penumpang (Air Travel Anger). Sejujurnya, ini sangat manusiawi apalagi bagi mereka yg daya tahan stressnya rendah atau sebelum ke bandara penumpang tsb sdh menderita stress lainnya.
Control/check point yg banyak serta antrian yg panjang pada control points jelas meningkatkan ATS. Sikap petugas Avsec yg "mencurigai" setiap penumpang ,menimbulkan suasana di SCP(Security Check Point) semakin stressful. Atau sebaliknya,ada penumpang dgn daya tahan stress yg tinggi, kadang kala, "mencobai" kewaspadaan petugas dan/atau menganggap bhw petugas avsec " overbearing"
IATA(International Air Transport Association) melalui Press Release 8Oct2016,mengungkapkan hasil survey a.l. bhw Penumpang secara global menghendaki " Passing through security and border control ONCE without having to remove personal items"
IATA Global Passenger Survey tsb juga mengungkapkan bhw " airport security and border control processes as two of their biggest PAIN POINTS when travelling". Survey ini menunjukan bhw ada juga kesan dari penumpang bhw petugas Avsec memperlakukan/memeriksa mereka seperti "teroris" dan semua penumpang dianggap orang jahat .
Kondisi " under suspicion" atau sikap petugas yang terlalu "SUSPECTING" mudah menimbulkan konflik dgn penumpang.
#3. UU no.1/2009 Ttg Penerbangan mengamanatkan a.l.: Pasal 217 : 1 " Setiap bandara yg dioperasikan, wajib memenuhi ketentuan KESELAMATAN dan KEAMANAN penerbangan,serta ketentuan pelayanan JASA bandara"
Pelaksanaan tugas "menjaga keamanan dan keselamatan penerbangan di bandara Indonesia selama ini cukup berhasil dilihat dari rendahnya incident/accident penerbangan yg diakibatkan oleh avsec di bandara.
Pemeriksaan security di bandara2 Indonesia tdklah aneh dibanding yg dilakukan oleh neg tetangga dan sdh pasti bhw apa yg dilakukan oleh TSA di USA,saat ini, jauh lebih ketat dari pd di Indonesia.
Jika demikian , apakah berarti complaint atau ekspresi ketidakpuasan pengguna jasa saat melewati SCP tdk perlu diperhatikan?.
Tentunya tidak !!! karena , keamanan bandara adlh salah satu bentuk jasa atau PELAYANAN yang, dlm hal ini/saat ini di Indonesia, disediakan oleh PENGUSAHA Bandara(BUBU) utk para PENGGUNA JASA Bandara yg diawasi/dikendalikan oleh OTORITAS Bandara. Terhadap jasa itu,penumpang membayar tarip pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) atau PSC yg sdh termasuk dlm harga ticket penumpang. Oleh krn itu, selayaknya, penyediaan jasa keamanan bandara tsb dilakukan dgn tetap memperhatikan 'Passenger Comfort"
Aviation security di bandara bertujuan mengamankan penumpang dan menciptakan rasa aman di bandara atau SAFEGUARDING sebagai bentuk pelayanan utama yg diberikan oleh para petugas avsec.
Prinsip safeguarding inilah yg selalu harus dikedepankan dalam tugas pemeriksaan di SCP.
Sedangkan SUSPECTING, merupakan bagian dari strategy pencegahan dlm menghadapi suatu potensi ancaman dgn prosedur yg jelas dan terukur.
Konflik akan minimal jika pengusaha bandara berhasil mengkomunikasikan prinsip ini.
Penumpang harus diyakinkan bhw setiap prosedur keamanan yg dilakukan se-mata2 demi keselamatan penumpang dan penerbangan secara keseluruhan. Keyakinan penumpang akan prinsip ini,pada gilirannya, akan menumbuhkan partisipasi aktif dan positif dari penumpang utk ikut menjaga keamanan bandara. Penumpang akan lebih awas dan tdk segan melaporkan setiap ada potensi ancaman keamananan misalnya ada "unattended bag" atau ada org yg mencurigakan.
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, para petugas avsec harus selalu ingat dan sadar bhw dia sedang mengamankan penumpang ybs. Sehingga jika ada penumpang yg lupa membuka ikat pinggang, misalnya, maka dengan sopan penumpang tsb diminta utk melakukan sesuai prosedur demi keselamatannya. Jadi ,tidak perlu langsung menganggap bhw penumpang tsb sengaja atau bermaksud jahat sampai dengan ada tanda2 kuat bhw penumpang berpotensi ancaman.
Kesimpulannya : Menurut penulis, perlu ada konsep baru pengamanan bandara dgn memperkuat/penekanan pd prinsip SAFEGUARDING yg disosialisasi kpd masyarakat pengguna jasa. Training dan familiarization tentang prinsip SAFEGUARDING,perlu diberikan kepada para petugas avsec.
Dengan demikian bandara Indonesia akan semakin maju dalam pelayanan dan keamanan menyonsong masa depan yg lbh cerah.
Akhirnya, harap selalu ingat ada suatu " golden rule" yg berlaku baik untuk penumpang maupun petugas avsec :
" TREAT OTHERS THE WAY YOU WOULD WANT TO BE TREATED "
Semoga bermanfaat.
Salam hormat
Robert D.Waloni
Citra Grand,Cibubur 08Jul2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar