Lupakan Owning Economy, tinggalkan Sharing Economy, kini saatnya mengedepankan CO-OPERATIVE ECONOMY
Model pertama (Owning Economy) mengisyaratkan pemilikan usaha secara perorangan, karenanya semua hal harus diselenggarakan secara mandiri. Berbagai investasi ditanggung sendiri dan bila untung juga dinikmati sendiri.
Model kedua (Sharing Economy), bekerja dengan mengolaborasikan aset-aset yang menganggur (idle asset) dari banyak orang.
Dengan pola dasar seperti itu, model kedua juga sering disebut collaborative economy.
Model kedua, lebih efisien daripada yang pertama.
Dengan model bisnis nonkonvensional ditambah teknologi berbasis platform, model kedua membuat banyak pihak yang terhubung bisa menikmati kue ekonomi lebih bagus.
Sharing economy platform layaknya sebuah meja.
Meja platform berperan sebagai daya dukung dari aktivitas bisnis yang mempertemukan supply dan demand. Sederhananya kita sebut sebagai market place.
Atas fasilitasi itu, pemilik meja peroleh pendapatan dengan pola fee based income. Artinya, makin banyak pihak yang berada dan beraktivitas di atas meja, makin besar fee yang diperoleh pemilik meja.
Siapa pemilik meja dan apa-apa yang berada di bawah meja?
Nyatanya hanya dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang tertentu, yaitu para venture capitalist yang menggerojok modal sampai triliunan rupiah.
EKONOMI GOTONG ROYONG
Model ketiga (ekonomi gotong royong/Co-operative Economy sering disebut sebagai koperasi atau co-op)
Ciri utamanya terletak pada sisi demokratisnya, di mana meja dibuat oleh dari dan untuk kepentingan semua orang.
Sebuah platform cooperativism sebagai alternatif terhadap platform capitalism.
Model sharing economy perlu didorong maju sampai sepenuhnya sumberdaya itu terbagi (shared) secara adil dan merata.
Karenanya agar sampai pada evolusi puncaknya, dimulai dari owning economy ke sharing economy dan berujung pada cooperative economy,
perlu ditanamkan azas demokrasi di dalamnya.
• Redistributif dan berkelanjutan
Joseph Stiglitz dalam International Cooperative Summit di Quebec tahun 2016 lalu menyatakan cooperative economy dapat berperan efektif sebagai instrumen trickle-down effect.
Stiglitz melihat korporasi swasta tak dapat diharapkan lakukan redistribusi kue ekonomi. Hasilnya ketimpangan terjadi di seluruh belahan bumi seperti temuan Thomas Piketty tahun 2013 silam.
Platform yang bersendi para venture capitalist tentu saja tak mampu lakukan redistribusi juga. Sebaliknya makin melebarkan jurang ketimpangan.Selain redistributif, cooperative economy juga berkelanjutan (sustain).
Claudia Sanchez Bajo dalam Capital and The Debt Trap (2011) menemukan bahwa perusahaan koperasi (co-op) cenderung bertahan lebih lama dibanding swasta. Setelah tiga tahun beroperasi daya tahan koperasi rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan swasta hanya 48 persen.
Tentu saja daya tahan itu makin jomplang bila kita bandingkan dengan start up business, termasuk yang berbasis platform, yang tingkat kegagalannya sampai 90 persen.
Bukan suatu keluhan, namun lebih ke arah analisis-antisipatip
Masa depan akan dipenuhi ketidakpastian dan turbulensi. Analis McKinsey Global Institute (2016) memberi peringatan, 50 tahun terakhir ini kita menikmati masa pertumbuhan yang mengagumkan. Namun 50 tahun mendatang, "The era of easy growth is over".
Dalam ramalan masa depan yang seperti itu, cooperative economy lebih menjanjikan karena terbukti berdaya tahan.
Disadur dari:
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/23/070203126/dari-sharing-economy-ke-cooperative-economy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar