Kamis, 23 Mei 2019

JIT pada industri elektronika (bag 1)

Kristianto Jahja
KAIZEN Institute

Kita terkejut mendengar berita ada keributan di SONY di Indonesia, sebuah perusahaan elektronik dengan dukungan manajemen Jepang. Apa yang terjadi ?
Buruh berdemonstrasi dan mogok karena diminta bekerja sambil berdiri. Cukup serius, sampai SONY sendiri mengancam untuk memindahkan pabriknya ke Vietnam atau China, entah bagaimana
kelanjutannya. Memang dulu pernah diramalkan oleh pelawak Bagyo alm. yang mengatakan: "kalau sudah duduk lupa berdiri!". Saya tidak bermaksud untuk menghakimi mana yang salah atau benar dalam kasus ini, namun mencoba memberikan pandangan yang melatar-belakangi terjadinya kasus ini.

Bayangan kita pada umumnya mengenai pabrik elektronik adalah angkatan kerja wanita dalam jumlah cukup banyak. Mereka bekerja memasang berbagai komponen seperti tahanan, kapasitor dan berbagai komponen aktif di atas circuit board dan menyoldernya satu demi satu, titik demi titik. Oleh karena bawaan pekerjaan tersebut yang membutuhkan ketelitian dan dexterity tinggi, yang umumnya dipenuhi oleh kaum hawa, maka logislah kalau kebanyakan karyawan adalah wanita, bahkan hampir seluruhnya wanita.

Bayangan lain dari pabrik elektronik adalah sebuah meja panjang yang menjadi jalur perakitan yang dilintasi oleh semua produk yang akan dihasilkan. Circuit board dipasangi komponen dan disolder satu demi satu secara serial oleh para pekerja wanita yang duduk di pos kerjanya masing-masing. Seorang pekerja akan mendapat bagian pekerjaan tertentu seperti memasang sekian buah komponen atau menyolder sekian titik solderan tertentu, kadang ada yang bertugas memeriksa dan emereparasi kesalahan pekerjaan dari pos-pos sebelumnya. Indah sekali, ini merupakan perwujudan dari dalil "division of work" dan juga jalur assembling yang dipelopori oleh produksi mobil Ford model T seabad yang lalu.

Pengaturan dari jalur assembling elektronik ini seringkali mengarah ke ekstrim yang tak terbayangkan sebelumnya. Kalau dalam assembling mobil siklus kerja sebuah pos masih cukup
luas, beberapa langkah dan waktu satu siklus kerja masih dihitung dalam bilangan menit. Maka di industri elektronik, langkah-langkah dalam siklus kerja diminimumkan sedemikian rupa guna memenuhi tuntutan output harian yang makin tinggi di jalur assembling. Bayangkan saja sebuah pos kerja yang hanya bertugas memasang 3-5 komponen pada circuit board dan waktu siklus kerja yang
sebutlah, 10 detik, terus berulang secara repetitif sepanjang hari. Nah ini juga cocok dengan teori division of work, atau juga anjuran Taylor tentang pelatihan bagi karyawan. Makin sedikit work
content dari setiap pos, makin cepat proses edukasi bagi karyawan, makin cepat pula karyawan baru dapat langsung dipekerjakan, istilahnya "learning curve" yang cepat matang.

Memang, kalau kita pikirkan sekarang, ini adalah metode kerja yang kurang manusiawi. Itu sebabnya, ada banyak pakar yang menelurkan teori job enlargement dan job enrichment dalam mempekerjakan karyawan. Namun, apa lacur, konsep jalur perakitan elektronik yang panjang dengan work content yang minimum sudah menjadi norma bagi industri elektronik di manapun juga, termasuk di indonesia.

(Dilanjutkan disini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar